Sejarah Bendungan Cirata, Jadi Waduk Terbesar di Asia Tenggara
--
Asal Usul Bendungan Cirata
Berdasarkan beberapa sumber, pada tahun 1922, para ahli asal Belanda mulai melakukan survei mengenai kelayakan pembangunan waduk di sepanjang aliran Sungai Citarum, mulai dari survei hidrologi, survei topologi, hingga survei geologi.
Baca juga: Rekomendasi Hotel di Bendungan Hilir, Harga Aman di Kantong dan Ada Gym Hingga Kolam Renang
Baca juga: Jokowi Resmikan Bendungan Semantok Nganjuk, Siap Mengairi 1.900 Hektare Sawah Para Petani
Survei yang lebih rinci selanjutnya dilakukan oleh Prof. Ir. W.J. van Blommestein guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk membangkitkan listrik.
Pada tahun 1948, Blommestein pun menerbitkan sebuah makalah mengenai rencana pembangunan bendungan di aliran Sungai Citarum. Dalam makalahnya, dia mengemukakan agar Waduk Jatiluhur dibangun lebih dahulu, karena dianggap paling mendesak. Selain bendungan tersebut, dia juga merencanakan pembangunan waduk-waduk tambahan, salah satunya adalah Waduk Cirata.
Pada tahun 1981, mulai dilakukan pemindahan terhadap 6.335 keluarga yang tinggal di 20 desa yang tersebar di 7 kecamatan di Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta. Selain itu, juga dilakukan penelitian oleh Universitas Padjajaran untuk menemukan dan menyelamatkan peninggalan purbakala yang terancam tergenang oleh waduk.
Untuk mempermudah akses ke lokasi pembangunan bendungan, juga dibangun Jembatan Cilangkap oleh Waskita Karya dengan dibantu oleh Yokogawa Bridge sebagai konsultan.